Media Luar Negeri Soroti Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia

- 27 November 2020, 10:54 WIB
Ilustrasi kebakaran hutan.*
Ilustrasi kebakaran hutan.* /pexels/Vladyslav Dukhin

PR MAJALENGKA – Lima tahun lalu, pola iklim El Nino memperpanjang musim kemarau di Sumatra setelah tertundanya hujan di bulan Oktober.

Akibatnya, terjadi bencana lingkungan yang berdampak pada kesehatan masyarakat.

Reuters, salah satu media luar negeri baru-baru ini menyoroti perihal kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia

Baca Juga: 6 Langkah Kebijakan di Sektor Ketenagakerjaan Dikeluarkan, Salah Satunya tentang THR

Sebab, sekitar 2,6 juta hektar hangus terbakar hingga menyebabkan setengah juta orang jatuh sakit.

Petani skala kecil di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, telah melakukan pembakaran selama beberapa dekade.

Menurut Teguh Surya selaku kepala Yayasan Madani Berkelanjutan di Jakarta, pembakaran itu untuk menyiapkan lahan untuk menanam singkong, nanas dan rambutan.

Dikutip Majalengka.Pikiran-rakyat.com dari pemberitaan Reuters pada 25 November 2020, penelitian menunjukkan, api secara tradisional digunakan dalam penanaman lahan karena kecepatannya.

Baca Juga: Siapkan Naskah Khutbah Jumat, Dirgen Bimas Islam: Kemenag Akan Libatkan Ulama dan Ahli Akademisi

Selain itu, proses pembakaran terjadi karena biayanya rendah dan efek samping yang diinginkan dalam mengurangi keasaman tanah serta membakar hama.

Namun, kebakaran tersebut semakin menyebar di luar kendali setelah perusahaan akasia dan perkebunan kelapa sawit mulai mengeringkan lahan gambut.

Pohon kelapa sawit dan akasia tumbuh dengan buruk di tanah yang tergenang air, sehingga perusahaan menggali jaringan kanal yang luas untuk mengalirkannya.

Baca Juga: KPK Tetapkan Edhy Prabowo Sebagai Tersangka Kasus Korupsi, Simak 3 Faktanya Ini

Serta membuat lanskap kaya akan karbon dan menjadi sangat mudah terbakar.

Penanam kelapa sawit bernama Muakit mengaku menghabiskan waktunya untuk mengerjakan lebih dari selusin hektar lahan di sana sendirian.

Namun, hanya beberapa bulan setelah kabut asap yang dibawa oleh api berakhir, pria berusia 63 tahun itu menjadi sasaran perburuan karena melanggar aturan tentang pembakaran.

Baca Juga: Berikan Sambutan di Munas X MUI, Presiden: Dakwah Keislaman Kita Merangkul Bukan Memukul

Muakit, mengatakan dirinya pergi bekerja seperti biasa di ladang tidak lama setelah fajar pada awal 2016 dan menyalakan api kecil untuk membakar sampah.

Dia kemudian pulang ke rumah, hanya untuk mengetahui di kemudian hari api telah menyebar sekitar setengah hektar.

Muakit bersembunyi karena takut, tetapi polisi menangkapnya sebulan kemudian, dia dijatuhi hukuman delapan bulan penjara.

Baca Juga: Menlu Retno Marsudi Ajak Swedia Kerja Sama Ekonomi Hijau dan Berkelanjutan

“Saya trauma, Saya tidak ingin menggunakan api lagi,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation.

Kelompok lingkungan mengatakan tindakan keras hukum pada orang-orang dan perusahaan di balik kebakaran, tidak proporsional menimpa petani individu seperti Muakit.

Polisi menahan 136 orang selama setahun hingga pertengahan September.

Baca Juga: Akan Ada 11 Hari Libur Panjang di Desember 2020, Presiden Jokowi Minta Pengurangan

Akan tetapi, hanya melakukan investigasi kriminal terhadap dua perusahaan yang dituduh melakukan kebakaran di konsesi mereka.

“Petani seperti Muakit yang ditahan di daerah terpencil seringkali tidak menyadari hak mereka atas bantuan hukum,” terang Andi Wijaya, Direktur Daerah Yayasan Bantuan Hukum Indonesia.

Analis hukum mengatakan penuntutan terhadap perusahaan atas kebakaran, sering kali menjadi kendala dalam sistem hukum di Indonesia.

Baca Juga: Kemensos Buka Kuota Tambahan Bantuan Sosial Tunai, Berikut 6 Langkah untuk Mengetahuinya

“Kami telah mengidentifikasi 349 perusahaan kelapa sawit, pulp dan kertas yang terlibat kebakaran hutan dan gambut sejak 2015, tetapi penegakan hukum terhenti,” ujar Zenzi Suhadi.

Zenzi merupakan Kepala Advokasi di Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Analis Greenpeace Asia Tenggara menunjukkan hanya sebagian kecil dari sekitar 220 juta dolar Amerika Serikat atau Rp 3,1 triliun dengan kurs Rp14.142, yang dijatuhkan dalam denda kepada perusahaan selama dekade terakhir yang telah dibayarkan.

Baca Juga: Arahan Prabowo Subianto ke Partai Gerindra Soal KPK Tangkap Adiknya, Edhy Prabowo

Pada 2016, polisi di provinsi Riau membatalkan penyidikan kriminal terhadap lebih dari selusin perusahaan perkebunan yang dituduh membakar lahan.

“Perusahaan terkadang tidak mau berbagi informasi,” kata Profesor Bambang Hero Saharjo dari Institut Pertanian Bogor, dia juga menjadi saksi ahli bagi pemerintah dalam kasus kebakaran.

Informasi itu termasuk izin konsesi, peta, analisis dampak lingkungan dan data lapangan, menurut Bambang.

Baca Juga: Presiden Joko Widodo Jelaskan 4 Fokus APBN 2021, Penanganan Covid-19 Jadi Hal Utama

Mengingat kompleksitas proses pidana, pemerintah semakin menjatuhkan sanksi administratif pada perusahaan tersebut, mulai dari surat peringatan hingga pembekuan izin.

Akan tetapi, meminta pertanggungjawaban perusahaan perkebunan yang salah, mungkin akan menjadi lebih sulit, dan itu menjadi ketakutan kelompok hijau.

Menurut Greenpeace, sekitar 4,4 juta hektar lahan terbakar di Indonesia antara 2015 dan 2019.

Baca Juga: Pemerintah Hormati Proses Hukum di KPK, Jokowi: Saya Percaya KPK Bekerja Transparan

Menurut Bank Dunia, kerusakan ekonomi yang diperkirakan sebesar 16 miliar dolar Amerika Serikat dari krisis kabut asap 2015, dua kali lipat dari nilai tambah ekspor minyak sawit Indonesia dari tahun sebelumnya.

Pada 2015, Presiden Joko Widodo memperpanjang moratorium konversi hutan, sebelum melarang penanaman baru di lahan gambut pada 2016.

Data KLHK menunjukkan, jumlah kebakaran tahun ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 2019, di tengah musim kemarau yang lebih singkat.

Baca Juga: Tak Kebagian BLT BPUM? Masih Bisa Ikut Daftar Bantuan LPDB, Ini Bocoran Caranya untuk UMKM

Pusat Penelitian Kehutanan Internasional yang berbasis di Indonesia memperkirakan penggunaan api guna membuka lahan untuk produksi minyak sawit di Riau menghasilkan lebih dari 3 ribu dolar AS per hektar atau Rp42,4 juta.

Tetapi, hanya sebagian kecil yang masuk ke petani, dengan elit lokal dan perusahaan perkebunan mengantongi sekitar 85 persen.

Lantaran pembatasan telah diperketat untuk membangun perkebunan yang lebih besar, banyak cara yang dilakukan.

Baca Juga: Transaksi Online Naik Selama Pandemi Covid-19, Kominfo Siapkan 4 Kebijakan Percepat Digitalisasi

Menurut para ahli, salah satu cara mengatasinya mungkin melibatkan penggabungan lahan yang dimiliki oleh petani skala kecil.

Hal itu juga bisa menempatkan petani seperti itu di posisi yang berbahaya.

“Jika petani membakar sesuatu di dapur, mereka masuk penjara,” ucap Muakit.

“Tetapi jika sebuah perusahaan membakar ratusan hektar, tidak ada penjara,” tambahnya. ***

Editor: Asri Sulistyowati

Sumber: Reuters


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x