Kudeta Myanmar: Wanita 20 Tahun Meninggal Tertembak Polisi di Kepalanya Ketika Melakukan Protes

20 Februari 2021, 14:04 WIB
Seorang demonstran meninggal setelah tertembak polisi. /asia.nikkei.com

PR MAJALENGKA- Keadaan di Myanmar memang kini diketahui semakin memanas setelah semakin banyak masyarakat melakukan demonstrasi.

Demonstrasi ini terjadi karena adanya kudeta yang dilakukan pihak militer Myanmar terhadap pemerintahan Myanmar.

Seperti yang diberitakan PikiranRakyat-Majalengka.com sebelumnya, pada 1 Februari 2021, militer Myanmar menahan Counselor Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint.

Hal ini dipicu terhadap dugaan pihak militer terjadinya kecurangan pemilu presiden yang memenangkan National League for Democracy (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi pada November tahun lalu.

Pihak militer dengan keras menyuarakan penolakan terhadap hal tersebut dan menyampaikan bahwa telah terjadi kecurangan.

Keberatan ini sempat menjadi pertimbangan untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut, sampai akhirnya tidak ditemukan adanya bukti kecurangan.

Pihak militer yang tidak menerima hal itu kemudian melakukan kudeta dengan menahan Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint.

Tidak sampai disitu, pihak militer juga kini diketahui telah menyabotase akses internet dan mengerahkan tank di jalan-jalan kota.

Penahanan ini menimbulkan kemarahan masyarakat Myanmar mengakibatkan terjadinya demo besar-besaran, lebih dari seratus ribu orang turun ke jalan melakukan protes pada pihak militer.

Dikutip PikiranRakyat-Majalengka.com dari Asia.Nikkel.com, seorang wanita muda yang ditembak kepalanya minggu lalu ketika polisi berusaha membubarkan kerumunan kini ditemukan tewas.

Setelah berjuang sejak dibawa ke rumah sakit pada 9 Februari akhirnya, pada hari Jumat, 19 Februari 2021 wanita tersebut meninggal kabar ini dikonfirmasi oleh saudara perempuannya.

Mya Thwate Thwate Khaing yang baru berusia 20 tahun itu terkena peluru selama melakukan protes di ibu kota Naypytaw.

Wanita muda ini telah berjuang selama sepuluh hari untuk hidup dengan bantuan alat sampai pada akhirnya meninggal pada hari Jumat lalu.

Dia adalah satu-satunya pengunjuk rasa yang terbunuh sejak tentara Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari.

Seorang desainer interior berusia 36 tahun yang berpartisipasi dalam protes di Yangon menyampaikan rasa keprihatinan terhadap apa yang terjadi pada wanita muda tersebut.

"Saya sangat sedih. Namun kami akan terus berjuang untuk demokrasi." Ujarnya.

Diketahui bahwa Polisi mendirikan barikade di persimpangan utama Jalan Pagoda Sule di pusat kota Yangon untuk mencegah protes.

Tetapi beberapa ratusan pengunjuk rasa bertambah dan terus memberontak dan berkumpul di dekat barikade.

Seorang siswi berusia 19 tahun terus memohon untuk mengembalikan sang Presiden dan Aung San Suu Kyi.

“Tolong bantu rakyat Myanmar. Kami membutuhkan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint kembali,” ujarnya.

Ia juga menambahkan kalau dirinya begitu takut ketika malam hari, karena polisi akan menangkap orang-orang di rumah-rumah penduduk.

Kudeta Myanmar sendiri menjadi ladang ranjau untuk bisnis di negara tersebut.

Negara seperti Inggris dan Kanada diketahui telah melakukan koordinasi dan menjatuhkan sanksi kepada sembilan tokoh yang terkait dalam kudeta Myanmar.

Embed:

Kedua negara tersebut mendukung penuh atas kebebasan dan hak demokratis yang dimiliki rakyat Myanmar dan dengan tegas tidak menerima tindakan militer Myanmar.***

Editor: Ghassan Faikar Dedi

Sumber: asia.nikkei.com

Tags

Terkini

Terpopuler