Kekurangan Air Bersih akibat Kerusakan Iklim Berdampak pada Lebih dari 3 Miliar Orang

1 Desember 2020, 09:38 WIB
Ilustrasi kekeringan air bersih. /pexels/Johannes Plenio

PR MAJALENGKA – Kekurangan air mempengaruhi lebih dari 3 miliar orang di seluruh dunia, karena jumlah air bersih yang tersedia telah anjlok seperlima selama dua dekade.

Dikutip Majalengka.Pikiran-Rakyat.com dari The Guardian.com, hal itu menurut sebuah data dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

Sekitar 1,5 miliar orang menderita kelangkaan air yang parah atau bahkan kekeringan.

Baca Juga: Sindir Partai yang Ganti Logo, Fahri Hamzah: Supaya Tidak Bayar Utang, Kasian Betul

Hal ini karena kombinasi dari kerusakan iklim, meningkatnya permintaan dan manajemen yang buruk telah membuat pertanian semakin sulit di berbagai belahan dunia.

PBB memperingatkan bahwa miliaran orang akan menghadapi kelaparan dan kekurangan pangan kronis yang meluas, pada Kamis 26 November 2020.

Terjadinya hal ini karena ada kegagalan untuk melestarikan sumber daya air, dan untuk mengatasi krisis iklim.

Baca Juga: Waspada, Majalengka Akan Diguyur Hujan Disertai Petir, Simak Prakiraan Cuaca Hari Ini, 1 Desember

Qu Dongyu, Dirjen Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), mengatakan sesuatu terkait hal ini.

“Kita harus menanggapi dengan sangat serius kelangkaan air, dan kekurangan air. Masalah ini juga di sektor pertanian harus segera diatasi,” ucapnya.

Kelangkaan air terkait dengan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan sumber daya air tawar.

Baca Juga: Gelar Rapim Perdana di KKP, Luhut Binsar Pandjaitan Menilai Terdapat Mekanisme Ekspor yang Keliru

Sedangkan kekurangan air tercermin dalam pola curah hujan yang tidak memadai yang dikaitkan dengan perubahan iklim.

Dia mengatakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan PBB, salah satunya menghapus kelaparan dan meningkatkan akses ke air bersih.

Tetapi masih banyak usaha yang perlu untuk meningkatkan praktik pertanian di seluruh dunia dan mengelola sumber daya secara adil.

Baca Juga: Ubah Cerita Asal Covid-19, Surat Kabar Tiongkok: Semua Bukti Tunjukkan Covid-19 Tak Dimulai di Wuhan

Laporan Status Pangan dan Pertanian 2020 dari FAO menemukan 50 juta orang di sub-Sahara Afrika tinggal di daerah kekeringan parah.

Hal tersebut juga memiliki efek bencana pada lahan pertanian dan padang rumput sekali setiap tiga tahun.

Jenis irigasi yang salah dapat menyia-nyiakan air, menghabiskan sumber daya yang tidak dapat diperbarui.

Baca Juga: 9 Sikap yang Harus Dihentikan Pria Terhadap Pasangannya, Posesif hingga Beri Hadiah Berlebihan

Sistem irigasi skala kecil dan dipimpin petani seringkali lebih efisien daripada proyek skala besar, menurut temuan laporan tersebut.

Skema skala besar yang didanai negara di Asia, misalnya, mengandalkan penyedotan langsung ke air tanah, memberikan tekanan berlebihan pada sumber daya tersebut.

Tetapi petani skala kecil di seluruh dunia menghadapi kesulitan ekstra, seperti kurangnya jaminan kepemilikan atas hak terkait air.

Baca Juga: Leicester City vs Fulham: The Foxes Gagal Naik Peringkat Setelah Kalah di Kandang

FAO memperingatkan produksi pangan harus berubah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencoba mencegah kerusakan iklim.

“Pertanian tadah hujan memberi bagian terbesar dari produksi global,” ucap Qu.

“Namun, untuk terus melakukannya, kami harus meningkatkan cara mengelola sumber daya air dari curah hujan yang terbatas,” tambah Qu.

Baca Juga: Akhirnya Reuni, Seohyun SNSD dan Jun Hyun Moo Ditunjuk Jadi MC The Fact Music Awards 2020

Laporan FAO tahun ini berfokus pada air, tetapi sebagian besar pekerjaannya yaitu membendung potensi pandemi covid-19 yang menyebabkan kekurangan pangan yang meluas.

Panen dunia tahun ini secara umum baik, dengan beberapa pengecualian.

Akan tetapi, beberapa wilayah di Afrika masih terancam masalah pangan yang parah. ***

Editor: Asytari Fauziah

Sumber: The Guardian

Tags

Terkini

Terpopuler