Dalam bahasa Arab, istilah "menyegerakan" dalam hadits tersebut memiliki medan semantik, yaitu ajjala–yu'ajjilu–ta'jilan yang artinya momentum, tergesa-gesa, menyegerakan, atau mempercepat. Dari situ, takjil diasosiasikan dengan anjuran menyegerakan berbuka puasa.
Lebih lanjut dikatakan bahwa tradisi takjil dimiliki setiap komunitas Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Snouck Hurgonje dalam laporannya setelah mengunjungi Aceh pada 1891-1892, De Atjehers, mencatat bahwa masyarakat lokal telah mengadakan buka puasa (takjil) di masjid beramai-ramai dengan menyajikan ie bu peudah atau bubur pedas.
Riwayat lain mencatat bahwa takjil jadi salah satu sarana dakwah Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa sejak sekitar abad ke-15. Suara Muhammadiyah menyebut, tradisi takjil dilakukan di Masjid Kauman Yogyakarta pada 1950-an, dan sejak itu terus dilestarikan Muhammadiyah dan akhirnya populer di kalangan masyarakat Muslim Indonesia.
Profesor Munir Mulkhan dalam bukunya Kiai Ahmad Dahlan & Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (2010) merangkum, Muhammadiyah berperan besar dalam mempopulerkan takjil saat Ramadan. Munir menyebut, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid salah satunya mempopulerkan tradisi menggelar takjil untuk menyegerakan kaum muslimin berbuka puasa.***